Kisah Teladan : Jadilah Seperti Ummu Sulaim

Dari sahabat Anas, beliau bercerita tentang putra Abu Tholhah dari istrinya Ummu Sulaim.

Ummu Sulaim berkata pada keluarganya, “Jangan beritahu Abu Tholhah tentang anaknya (yang meninggal) sampai aku yang memberitahukan padanya”. Diceritakan, ketika Abu Tholhah pulang, istrinya Ummu Sulaim menawarkan kepadanya makan malam. Suaminya pun menyantap dan meminumnya. Kemudian Ummu Sulaim berdandan cantik yang belum pernah ia berdandan secantik itu sebelumnya. Hingga akhirnya Abu Tholhah pun menyetubuhi Ummu Sulaim. Ketika Ummu Sulaim melihat suaminya telah puas didalam menyantap hidangan dan telah menyetubuhi dirinya, ia pun berkata: “Bagaimana pendapatmu jika ada suatu kaum meminjamkan sesuatu kepada salah satu keluarga, lalu mereka meminta pinjaman mereka lagi, apakah tidak dibolehkan untuk diambil?” Abu Tholhah menjawab: “Tidak”, Ummu Sulaim berkata: “Bersabarlah dan berusaha raih pahala karena kematian puteramu”. Abu Tholhah lalu marah kemudian berkata: “Engkau biarkan aku tidak mengetahui hal itu hinggga aku berlumuran janabah, lalu engkau kabari tentang kematian anakku?” Abu Thalhah pun bergegas ke tempat Rasúlulláh  dan mengabarkan apa yang terjadi pada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasúlulláh  pun mendo’akan: “Semoga Allah memberkahi kalian berdua dalam malam kalian itu.” Akhirnya, Ummu Sulaim pun hamil lagi.

Kisah di atas menunjukkan keutamaan sahabat perempuan Ummu Sulaim. Dari kisah ini kita bisa melihat bagaimana kuatnya kesabaran Ummu Sulaim, sungguh ia begitu penyabar. Sampai-sampai ketika putranya meninggal dunia pun ia bisa bersabar seperti itu. Kala mengalami musibah, ia tetap melayani suaminya seperti biasa, bahkan ia pun berdandan begitu istimewa demi memuaskan suaminya. Tatkala suaminya puas, baru ia kabarkan tentang kematian puteranya.

Ini-lah kisah Ummu Sulaim yang suci hatinya dengan mengikuti jejak Rasúlulláh dalam kesabaran ketika ditinggal mati putranya dari Abu Thalhah, tentu dia tidak akan sampai kepada derajat kesabaran ini kalau tanpa keyakinan yang benar tentang adanya hari akhir dan balasan pahala disertai dengan ketetapan dia didalam pengajaran Rasúlulláh—makhluk yang paling mulia, didalam bertawakkal kepada Allah yang telah menanamkan dihati mereka (para sahabat) bagaimana menerima setiap ketentuan dari Allah.

Dan begitulah setiap perbuatan baik yang dikerjakan seorang muslim, berbeda satu ganjaran perbuatan dengan perbuatan lainnya tergantung bagaimana kekuatan keyakinan dan ketulusan niat, dan ini semua tidaklah didapat oleh setiap orang kecuali dengan menjauhi kekufuran baik keyakinan, perkataan, atau perbuatan[1].

Maka barang siapa yang tetap didalam Islam dan senantiasa menghadirkan niat ikhlas karena Alláh didalam menjalankan setiap amal baik yang sesuai dengan syariat islam sebagaimana diajarkan oleh Rasúlulláh  maka ia mendapatkan ganjaran atas amal yang dia kerjakan, karena Alláh maha mulia dan maha pemberi.

Maka perkara yang terpenting adalah mengerjakan setiap amal baik sesuai dengan apa yang diajarkan Rasúlulláh  serta tetap menjaga seluruh anggota badan, dari lisan, tangan, kaki, hati dari terjatuh kedalam perbuatan maksiat.

Sebagian orang ketika terjadi perdebatan dengan orang lain, dia pun marah[2] lalu terjatuh kedalam kekufuran dengan mencaci maki Allah, salah satu Rasul dari para Rasul-Nya, atau merubah keyakinan islamnya dengan berpindah keagama yang lain, maka dengan demikian diwajibkan bagi dia untuk Kembali masuk kedalam agama islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat seketika itu juga dan meninggalkan apa yang menjadikan dia keluar islam, dan bertekad untuk tidak mengulanginya dimasa mendatang [3].

[1] Ketahuilah wahai saudaraku sesama muslim, bahwa terdapat keyakinan-keyakinan, perbuatan-perbuatan, dan perkataan-perkataan yang membatalkan keimanan seseorang dan menjatuhkannya kedalam kekufuran, karena kekufuran itu ada tiga macam: kufur keyakinan, kufur perbuatan dan kufur perkataan.

Kufur keyakinan: tempatnya didalam hati, seperti menafikan salah satu sifat wajib bagi Allah yang telah ditetapkan secara ijma, atau meyakini bahwa Allah berupa cahaya, atau berupa Roh.

Kufur perbuatan: seperti melempar mushhaf ke tempat-tempat kotor, atau melempar kertas-kertas ilmu syara’, atau kertas apa saja yang tertulis didalamnya salah satu nama Allah dalam keadaan dia mengetahui adanya nama tersebut pada kertas.

Kufur perkataan, ini sangat banyak dan tidak terhitung seperti mencaci maki Allah, para Nabi, janji-Nya atau ancaman-Nya yang tidak samar baginya tentang penisbatan hal tersebut kepada Allah.

Atas hal ini para ulama membangun kaedah bahwa setiap keyakinan, perbuatan dan perkataan yang mengandung unsur pelecehan terhadap Allah, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, para malaikat-Nya, syiar-syiar agama-Nya, hukum-hukum-Nya, janji-Nya atau ancaman-Nya adalah suatu kekufuran. Maka hendaknya setiap orang menjauhi semua itu dengan segala upaya dalam keadaan apapun.

[2] Mengontrol hawa nafsu ketika marah adalah diantara sebab yang menjadikan seseorang selamat, karena dengan demikian dia telah menjaga agama dan badannya, dan diantara akhlak terpuji seseorang adalah lambat marah dan cepat ridha (memaafkan).

[3] Karena islam adalah satu-satunya agama yang Allah ridhai bagi hambanya dan Allah perintahkan kita untuk memeluknya, karena islam adalah agama seluruh para nabi.

Tinggalkan Balasan

ke atas