Ancaman Orang Yang Menafsirkan al-Qur’an Dengan Pendapat Sendiri

Didalam al-Qur’an Allah berfirman :

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يُجَٰدِلُ فِي ٱللَّهِ بِغَيۡرِ عِلۡمٖ وَلَا هُدٗى وَلَا كِتَٰبٖ مُّنِيرٖ 

Maknanya : “Dan di antara manusia ada yang berbantahan tentang Allah tanpa ilmu, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang memberi penerangan.” QS. Al-Hadid. 8

Kemudian Allah juga berfirman :

وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسۡؤولٗا 

Maknanya : “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” QS. Al-Isra’. 36

Al-Qur’an sebagai kalamullahi ta’ala yang diturunkan kepada penutup seluruh para nabi Muhammadg, dan malaikat Jibril yang mengajarkannya kepada Rasulullah, sebagaimana firman Allah:

عَلَّمَهُۥ شَدِيدُ ٱلۡقُوَىٰ 

Maknanya : “yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat.” QS. An-Najm. 3

kemudian para sahabat merujuk dan mengembalikan kepada Rasulullahg didalam menafsirkan

al-Qur’an, sebagaimana firman Allah :

بِٱلۡبَيِّنَٰتِ وَٱلزُّبُرِۗ وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلذِّكۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيۡهِمۡ وَلَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ 

Maknaya : “keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” An-Nahl. 44

kemudian Allah juga berfirman :

أَن تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ 

Maknanya : “dan (kalian) mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui.” Al-Baqarah. 169

Imam at-Thirmidzi telah meriwayatkan dari sahabat Abdullah Ibn Abbas, bahwa Rasulullahg telah bersabda :

من قال فى القران برأيه فليتبوأ مقعده من النار

Maknanya : “Barangsiapa yang menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan pendapatnya semata, maka tempatnya kelak di neraka.” HR. Thirmidzi

kemudian Abu Bakkar ashiddiq berkata :

أي سماء تظلني وأي أرض تقلني إن قلت فى كتاب الله مالا أعلم

Maknanya : “Langit mana yang akan menaungiku, dan bumi mana yang akan membawaku, (artinya tenang diri ini) Ketika mengatakan tidak tahu tentang sesuatu yang tidak saya ketahui dari al-Quran.”

sebagaimana diriwayatkan alhafidz ash-Shuyuti didalam Tarikh Khulafa.

Dan Ali ibn Abi Thalib juga berkata :

ما أبردها على كبدي أن أقول لا أدري حين لا أدري

Maknanya : “betapa dingin (tenang) didalam hati, Ketika saya mengatakan “tidak tahu” tentang sesuatu yang tidak saya ketahui.”

Sebagaimana diriwayatkan alhafidz Abu Nuaim al-Ashbahani.

Oleh karna itu para ulama mensyaratkan bagi orang yang hendak mentafsirkan al-Qur’an untuk memperhatikan beberapa perkara, diantaranya :

  1. Mengetahui Ijma, agar tidak menyalahi Ijma Ketika menafsirkan al-Qur’an.
  2. Mengetahui akidah (usuluddin), yaitu ilmu tauhid, karna dengan ilmu ini dapat diketahui sesuatu yang wajib bagi Allah dan sesuatu yang mustahil dan juga boleh (jaiz) bagiNya, dan mengetahui sesuatu yang wajib dan mustahil bagi para nabi.
  3. Mengetahui ayat-ayat hukum (ayat al-Ahkam) dan hadits-hadits hukum (ahadits al-Ahkam), agar tidak menyalahiNya.
  4. Mengetahui Bahasa arab (lughoh), Imam Mujahid berkata : tidak diperbolehkan bagi sesorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berbicara tentang al-Qur’an Ketika tidak mengetahui Bahasa arab.
  5. Mengetahui ilmu nahwu, karna yang tidak mengetahui nahwu bisa saja terjatuh kedalam kesalahan yang fatal.
  6. Mengetahuin ilmu shorof, karna dengan ilmu ini bisa diketahui perubahan suatu kata.
  7. Mengetahui ilmu pengambilan kata (isthiqoq), oleh karna suatu kata dalam bahasa arab Ketika asal pengambilannya berbeda maka akan berbeda juga maknanya.
  8. Mengetahui ilmu balaghoh (ilmu al-Ma’ani, ilmu al-Bayan, ilmu al-Badi’).
  9. Mengetahui ilmu qiroat, karna dengan ilmu ini dapat diketahui tempat keluarnya huruf (makhorijul huruf), dan bagaimana cara melapalkannya.
  10. Mengetahui ilmu usul fiqh, karna dengan ilmu ini dapat diketahui berbagai pengambilan dalil, dan cara menyimpulkan suatu hukum dari dalil-dalil.
  11. Mengetahui ilmu fiqh, karna dengan ilmu ini bisa diketahui hukum-hukum syariat, seperti praktek ibadah, muamalat dan lain-lain.
  12. Mengetahui sebab-sebab diturunkannya suatu ayat (asbabun nuzul), karna dengan ilmu ini dapat diketahui maksud suatu ayat, dan mengetahui juga kisah-kisah dusta yang terdapat disebagian tafsir.
  13. Mengetahui ilmu nasikh dan Mansukh, karna ini merupakan sesuatu yang penting bagi yang hendak mentafsirkan al-Qur’an supaya tidak terjatuh kedalam kesalahan yang fatal.
  14. Mengetahui ilmu hadits dan sunan yang menjelaskan perkara yang mujmal  (global), dan menjelaskan juga perkara yang mubham (tidak rinci), dan menkhusukan sesuatu yang ‘aam (umum).

Barang siapa yang menafsirkan al-Qur’an tanpa memperhatikan syarat-syarat ini maka dia telah menafsirkan al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri yang dilarang sebagaimana dijelaskan didalam hadits yang telah berlalu, dan berhaq mendapatkan ancaman yang dijelaskan didalam hadits Rasulullah :

من قال فى القران برأيه فقد ضل

Maknanya : “orang yang menafsirkan al-Quran dengan pendapatnya sendiri maka dia telah tersesat.”

Dan didalam hadits lain :

من قال فى القران برأيه فأصاب فقد أخطأ

Maknanya : “orang yang menafsirkan al-Quran dengan pendapat sendiri, sekalipun dia benar maka telah salah.”

Dan makna (فأصاب) artinya ia menafsirkan al-Qur’an dengan benar secara kebetulan, dan makna (فقدأخطأ) artinya ia telah terjatuh kedalam dosa besar menjadi seorang yang fasiq berhaq mendapatkan siksaan dari Allah dengan api neraka karna ia memberanikan diri untuk menafsirkan al-Qur’an tanpa ilmu, dan ini merupakan bagian dari berfatwa tanpa ilmu yang merupakan dosa besar, sebagaimana dijelaskan didalam sabda Rasulullahg :

من أفتى بغير علم لعنته ملائكة السماء والأرض

Artinya : “barang siapa yang berfatwa tanpa ilmu makai ia telah dilaknat malaikat yang ada dibumi dan dilangit.” HR. Ibn Asakir.

Kemudian orang yang memberanikan diri menafsirkan al-Qur’an dengan pendapatnya, bisa saja terjatuh kedalam kekufuran dan mengeluarkannya dari agama islam, dan kalo seandainya selamat dari terjatuh dalam kekufuran tapi dia tidak akan selamat dari terjatuh kedalam perbuatan dosa besar.

Diantara contoh orang yang menafsirkan al-Qur’an dan terjatuh kedalam kekufuran seperti orang yang mengatakan tentang firman Allah :

ٱللَّهُ نُورُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ

Mengatakan bahwa Allah berupa cahaya yang memenuhi langit dan bumi, atau cahaya yang memenuhi udara, oleh karna penafsiran seperti ini menyalahi firman Allah :

لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَيۡءٞۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ 

Artinya : “Dia Allah yang tidak serupa dengan makhluk-Nya baik dari satu segi, ataupun semua segi.” QS. Asyura. 11

Begitu juga telah keluar dari agama islam orang yang mentafsirkan firman Allah :

ٱلرَّحۡمَٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ 

Dengan duduk atau bersemayam diatas Arsy. Oleh karena telah menyalahi ayat Muhkamat yang tadi telah dijelaskan.

Akan tetapi makna firman Allah

ٱللَّهُ نُورُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ

bahwasanya Allah lah yang memberikan petunjuk kepada orang-orang mukmin dengan cahaya keimanan.

Adapun makna ayat :

ٱلرَّحۡمَٰنُ عَلَى ٱلۡعَرۡشِ ٱسۡتَوَىٰ 

Dialah Allah yang menjaga dan menundukan Arsy dan seluruh alam,

sebagaiman firman Allah:

وَهُوَ ٱلۡوَٰحِدُ ٱلۡقَهَّٰرُ 

Maknanya : “dia Allah yang maha esa dan maha menundukan” QS. Ar-Ra’d. 16

Maka dari sini dapat diketahui bahwa tafsir al-Qur’an dan ilmu agama secara umum tidak bisa diambil secara otodidak, sekedar membaca-baca dari kitab tanpa didasari seorang guru, akan tetapi ini semua diambil secara at-Talaqqi (face to face) kepada seorang guru yang terpercaya, sebagai mana dikatakan oleh Imam al-Khatib al-Bhagdadi bahwasanya llmu agama hanya bisa didapat dari mulut para ulama.

Maka dari sini waspadalah terhadap mereka yang mengaku ahli ilmu akan tetapi menganggap mudah (enteng) berfatwa tanpa ilmu dan menganggap ringan menafsirkan al-Qurán dengan pendapat sendiri dan merekalah orang-orang celaka, dan siapapun yang mengambil pendapat mereka dan penafsiran mereka yang bathil maka dia akan celaka juga dan tidak ada alasan baginya, sebagaimana sabda Rasulullah :

إن الله لا يقبض العلم انتزاعًا ينتزعه من العباد، ولكن يقبض العلم بقبض العلماء حتى إذا لم يُبْقِ عالمًا اتَّخذ الناس رؤوسًا جهالاً، فسُئِلوا فأفتوا بغير علم؛ فضلوا وأضلوا

Maknanya : “Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menggangkat ilmu dengan sekali cabutan dari para hamba-Nya, akan tetapi Allah mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika tidak tersisa lagi seorang ulama pun, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu. mereka sesat dan menyesatkan.” HR. Bukhari.

Dalam hadits lain juga dijelaskan bahwa mereka dan yang mengikutinya akan celaka, sebagaimana sabda Rasulullah lainnya yang diriwayat Bukhori :

أناس من جلدتنا يتكلمون بألسنتنا تعرف منهم و تنكر دعاة على أبواب جهنم من استجاب لهم قذفوه فيها

Maknanya : “sebuah kaum yang menanamkan pedoman bukan dengan pedomanku, engkau kenal mereka namun pada saat yang sama engkau juga mengingkarinya. ketika itu ada penyeru-penyeru menuju pintu jahannam, siapa yang memenuhi seruan mereka, mereka akan menghempaskan orang itu ke pintu-pintu itu.

Maka keselamatan itu dengan tanpa melampaui Batasan syariat, dan tidak memberanikan diri untuk menafsirkan al-Qur’an dengan pendapatnya sendiri, sesungguhnya kebenaran lebih pantas untuk diikuti, oleh karna keselamatan dalam beragama tidak ada tandingannya.

Tinggalkan Balasan

ke atas